Pages

Minggu, 29 April 2012

makalah mengena hak milik


I.PENDAHULUAN

Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah. Atas dasar itu, persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagaian besar dari kehidupan manusia tergantung pada tanah. Betapa tidak, agama mengajarkan bahwa manusia adalah berasal dari tanah. Tanah adalah tempat bermukim bagi umat manusia, di samping sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha tani. Tanah dapat dinilai pula sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen, karena memberikan suatu kemantapan untuk dicadangkan bagi kehidupan di masa mendatang. Pada akhirnya tanah pulalah yang dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi orang yang meninggal dunia. Pendek kata, tanah mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas, maka tanah bagi kehidupan manusia tidak hanya mempunyai nilai ekonomis sebagaimana anggapan sementara pihak, akan tetapi juga mengandung asek sosial, politik kultural, psychologis, dan Hankamnas. Oleh karena itu, dalam rangka pemecahan aneka permasalahan yang berkenaan dengan soal-soal pertanahan dewasa ini bukan saja harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum semata,akan tetapi juga harus memperhatikan asas kesejahteraan (prosperity), asas ketertiban dan keamanan (security), dan asas kemanusiaan (humanity), agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.
Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah terus. Selain banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak, misalnya untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan, dan jalan-jalan untuk perhubungan.



II. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana pelaksanaan fungsi sosial sekarang ini
2.Bagaimana hak individu berhadapan dengan fungsi sosial sekarang ini



III. PEMBAHASAN

Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah pertanahan di negara kita telah diperoleh data, bahwa penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah masih belum begitu tertib dan terarah, dalam arti masih banyak penggunaan tanah yang saling tumpang tindih (overlapping) dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Guna Tanah, baik dilihat secara Nasional maupun secara Regional. Disamping itu penguasaan dan pemilikan tanah masih menunjukan ketimpangan dalam masyarakat, yang mana ada sekelompok kecil masyarakat memiliki penguasaan tanah secara berlebihan dan melampaui batas, sedangkan dilain pihak kelompok terbesar dari masyarakat mempunyai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas. Bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh tani yang berarti sangat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Selain daripada itu tidak jarang pula timbul kasus berupa penguasaan tanah oleh oknum-oknum tertentu secara tanpa hak.
Keadaan semacam itu adalah jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat dan negara, karenanya harus dirombak dan diperbaiki melalui proses pembangunan yang terencana dan terarah. Penataan mengenai penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah sebagai suatu program Nasional sudah direncanakan semenjak tahun 1960 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 yaitu tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 yang kemudian dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA memberikan landasan hukum bagi program yang dimaksud, walaupun sebenarnya konsepsinya sudah ada sejak tahun 1947. Dengan adanya pernyataan politik dari lembaga tertinggi, maka pemerintah berkewajiban sepenuhnya untuk melaksanakan program tersebut.
UUPA telah menggariskan beberapa ketentuan mengenai penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah yang ada di Indonesia. Untuk memperoleh kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, UUPA telah meletakkan kewajiban untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia, demikian juga bagi para pemegang hak diwajibkan untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketentuan-ketentuan tersebut telah dijabarkan secara terperinci baik dalam berbagai peraturan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah ataupun peraturan lainnya. UUPA sebagai peraturan yang memuat ketentuan pokok dibidang keagrariaan, masih memerlukan peraturan pelaksanaannya. Selain itu peraturan pelaksana dari UUPA ada yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisis masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Hal ini mengakibatkan timbulnya beberapa kemacetan dalam pelaksanaan di lapangan.
Kesadaran hukum anggota masyarakat untuk mendaftarkan hak milik dan hak penguasaan atas tanah relatif sangat rendah, hal ini disebabkan dari pengaruh Hukum Adat yang masih mendominasi kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan. Atas dasar itu penegakan hukum dalam bidang pertanahan perlu mendapat perhatian khusus, karena tanah sebagai sumber utama kehidupan manusia mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi.
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk:
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.
Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
Adapun mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan ‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.” Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.
- Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
- Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.
Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
- Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
- Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal dari orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan haknya.
Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan dalam pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak mencerminkan cita-cita dari pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya bertujuan untuk:
1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyar keseluruhan
Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita-cita pembentukan UUPA tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak senantiasa menjadi duri dalam pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan kebijakan yang mengatur masalah hak-hak atas tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara horizontal maupun vertikal banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya mengenai hak milik ini sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.
Dalam praktek, pencabutan hak atas tanah milik yang tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA seringkali terjadi. Masyarakat dituntut untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk kepentingan umum dengan diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat dalam pasal 6 UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak yang dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk menggantikan kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki lahan luas, mungkin hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi sebagian besar penduduk yang hanya memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa. Ironisnya, kenyataan ini malah akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk yang entah disadari atau tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan tersebut ternyata malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya proses pemiskinan penduduk terjadi di desa Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Dari semua persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu rumusan strategi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras memenuhi kas pendapatannya harus berhadapan dengan para petani yang harus kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut. Konflik pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang didistribusikan kepada orang-orang lain.
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah di Indonesia dirasakan terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang dijual ke tangan pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi. Lahan-lahan pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah kepada investor yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah terlantar di perkotaan maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah kebutuhan mendesak akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan pertanian. Hal ini membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya sendiri, dan kerapkali menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah tersebut. Ironisnya tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) ini adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan terlantar sehingga keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan menurut ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Masalah penelantaran tanah ini berkaitan dengan masalah kepemilikan secara besar-besaran oleh perorangan yang tentunya jika dibiarkan akan terjadi apa yang dinamakan dengan “monopoli tanah” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penguasaan/kepemilikan tanah yang melampaui batas ini tidak sesuai dengan amanat dari Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa “ Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”Namun dalam kenyataannya hal ini sulit untuk dihindari.
Selain permasalahan di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah. Meskipun secara normative pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 19 UUPA dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Pelaksana 27 Nomor tahun 1997, namun dalam kenyataannya masalah ini tetap melahirkan banyak fenomena memprihatinkan di masyarakat seperti keengganan masyarakat untuk melakukan sertifikasi karena berbagai alasan yang pada umumnya berkisar pada alasan ekonomis, namun sebaliknya terdapat pula kepemilikan sertifikat oleh banyak orang.
Lahir dua pemikiran terhadap segala persoalan terkait dengan hak milik atas tanah sebagaimana diuraikan di atas bahwa hal tersebut timbul tidak hanya akibat dari kekeliruan pemerintah dalam penerapan kebijakan tetapi juga tidak lepas dari peran serta masyarakatnya yang tampak berupaya untuk berontak/melepaskan diri dari kebijakan hukum pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karena itu segala permasalahan tersebut perlu dianalisis lebih cermat baik terhadap pihak pelaksana kebijakan yang seringkali menyelewengkan amanat dari pembuat kebijakan maupun terhadap masyarakat luas yang juga berperan serta memperuncing segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan hak milik ini.

Analisis Sosiologi Hukum Berdasarkan Metode Pendekatan sosiologi



Metode Pendekatan Sosiologi Hukum,
Dalam pengkajian hukum positif masih mendominasi studi hukum pada Fakultas Hukum, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapkan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative. Dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan social kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.scientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif,
Untuk membanding hal tersebut diatas, maka pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, maka perlu menguraikan lebih dahulu dimaksud pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis. Contoh : apakah seorang bermaksud lebih dari seorang isteri terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 40.
2. Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern. Contoh : pada masyarakat sederhana ada dewam masyarakat adat sedangkan pada masyarakat modern adalah Putusan Hakim.
3. Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia. Contoh: diatatinya atau dilanggarnya hukum yang berlaku dalam masyarakat.
4. Sejarah Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang. Contoh : Monumen ordinantie ( HIR/Rbg).
5. Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara. Contoh Hukum adat Batak dengan hukum adat jawa atau hukum singapura dengan hukum Negara Indonesia.
Pendekatan yuridis empiris atau pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat yang dilengkapi dengan contoh diatas, dapat dipahami bahwa berbeda dengan pendekatan yuridis normative/pendekatan doktrin hukum.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol,
Dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat,
Hukum sebagai sosial control, juga hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, Alat pengubah masyarakat adalah analogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlkihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru. Peran perubahan/pengubahan tersebut dipegang oleh hakim melalui interprestasi dalam mengadili kasus yang dihadapinya secara seimbang (balance) dan harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
1. Studi tentang aspek social actual dari lembaga hukum.
2. Tujuan dari pembuatan peraturan hukum yang efektif.
3. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum.
4. Studi tentang metodologi hukum.
5. Sejarah hukum.
6. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi adari kasus-kasus individual yang pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak.
Dari keenam langkah yang perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam melakukan “interprestasi”, maka perlu ditegaskan bahwa memperhatikan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, yang semula hanya merupakan unsur-unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

Menganalisa Faktor Internal.
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi oleh factor internal yang hidup didalam masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.specientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Secara analisa factor internal bahwa metode pendekatan tersebut dipengaruhi kebijakan dasar yaitu Dewan Hukum Adat pada masyarakat sederhana, sedangkan pada masyarakat modern adalah putusan hakim. Juga dipengaruhi kebijakan pemberlakuan, akibat pengaruh kebijakan dasar tersebut dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar dan apabila tidak melaksanakan maka akan terkena sanksi kebijakan pemberlakuan, pada masyarakat sederhana keputusan dewan kepala adat harus dilaksanakan dengan ketentuan musyarakat dewan adat, sedangkan pada masyarakat modern, keputusan Hakim adalah merupakan kebijakan dasar sedangkan kebijakan pemberlakukan adalah apabila tidak melaksanakan putusan tersebut akan mendapat sanksi yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.

Menganilsa Faktor Eksternal
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi juga oleh faktor eksternal yang hidup diluar masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial kemasyarakatan, buka kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.specientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Secara analisa faktor eksternal mempengaruhi metode pendekatan tersebut, terhadap kebijakan dasar eksternal yaitu peraturan nasional yang menaungi keamaan dan ketentraman masyarakat sederhana tersebut, seperti pemberlakuan hak penguasan tanah adat (Hak Ulayat), sedangkan pada masyarakat modern adalah peraturan perundangan-undangan pertanahan (Hukum Agraria) yang melindungi masyarakat modern didalam hal penguasaan tanah. Sangat jelas terlihat bahwa kebijakan pemberlakuan, sebagai akibat dipengaruh kebijakan dasar tersebut, dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar yang berupa peraturan perundang-undang dan apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut, maka akan hilang hak penguasaan tanah tersebut yaitu kebijakan pemberlakuan pada masyarakat modern.

Kesimpulan
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang didas untukrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law).

Pada karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut yaitu Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang, Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji dengan data empiris.

Dengan dilakukan metode Pendekatan Sosiologi Hukum, adalah pengkajian hukum positif, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum (pendekatan yuridis normative dan pendekatan pengkajian hukum pada kenyataa didalam kehidupan social kemasyarakatan). Sedangkan Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif, adalah pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, dengan menguraikan lebih dahulu pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya yaitu : Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis, Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern, Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia, Sejarah Hukum sebagai iilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau sampai dengan sekarang, dan Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol, adalah setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang parktis yaitu penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat.adalah untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.Begitu juga mengenai Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).