I.PENDAHULUAN
Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan
kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya
dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah. Atas
dasar itu, persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang
sangat penting sekali, karena sebagaian besar dari kehidupan manusia tergantung
pada tanah. Betapa tidak, agama mengajarkan bahwa manusia adalah berasal dari
tanah. Tanah adalah tempat bermukim bagi umat manusia, di samping sebagai
sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha tani. Tanah
dapat dinilai pula sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen, karena
memberikan suatu kemantapan untuk dicadangkan bagi kehidupan di masa mendatang.
Pada akhirnya tanah pulalah yang dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi
orang yang meninggal dunia. Pendek kata, tanah mempunyai peranan penting dalam
kehidupan ini.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas,
maka tanah bagi kehidupan manusia tidak hanya mempunyai nilai ekonomis
sebagaimana anggapan sementara pihak, akan tetapi juga mengandung asek sosial,
politik kultural, psychologis, dan Hankamnas. Oleh karena itu, dalam rangka
pemecahan aneka permasalahan yang berkenaan dengan soal-soal pertanahan dewasa
ini bukan saja harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum semata,akan tetapi juga
harus memperhatikan asas kesejahteraan (prosperity), asas ketertiban dan
keamanan (security), dan asas kemanusiaan (humanity), agar masalah pertanahan
tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas
masyarakat.
Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia
terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah
senantiasa bertambah terus. Selain banyaknya jumlah manusia yang memerlukan
tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi,
sosial-budaya, dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak,
misalnya untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat
hiburan, dan jalan-jalan untuk perhubungan.
II. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana pelaksanaan fungsi sosial sekarang
ini
2.Bagaimana hak individu berhadapan dengan
fungsi sosial sekarang ini
III. PEMBAHASAN
Dari berbagai penelitian yang dilakukan
terhadap masalah pertanahan di negara kita telah diperoleh data, bahwa
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah masih belum begitu tertib dan terarah,
dalam arti masih banyak penggunaan tanah yang saling tumpang tindih
(overlapping) dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Guna Tanah, baik dilihat secara Nasional maupun secara Regional. Disamping itu
penguasaan dan pemilikan tanah masih menunjukan ketimpangan dalam masyarakat,
yang mana ada sekelompok kecil masyarakat memiliki penguasaan tanah secara
berlebihan dan melampaui batas, sedangkan dilain pihak kelompok terbesar dari
masyarakat mempunyai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas. Bahkan banyak
pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh
tani yang berarti sangat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Selain
daripada itu tidak jarang pula timbul kasus berupa penguasaan tanah oleh oknum-oknum
tertentu secara tanpa hak.
Keadaan semacam itu adalah jelas sangat
merugikan kepentingan masyarakat dan negara, karenanya harus dirombak dan
diperbaiki melalui proses pembangunan yang terencana dan terarah. Penataan
mengenai penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah sebagai suatu program
Nasional sudah direncanakan semenjak tahun 1960 dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 yaitu tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 yang kemudian dikenal
dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA memberikan landasan hukum bagi
program yang dimaksud, walaupun sebenarnya konsepsinya sudah ada sejak tahun
1947. Dengan adanya pernyataan politik dari lembaga tertinggi, maka pemerintah
berkewajiban sepenuhnya untuk melaksanakan program tersebut.
UUPA telah menggariskan beberapa ketentuan
mengenai penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah yang ada di Indonesia. Untuk
memperoleh kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, UUPA telah meletakkan
kewajiban untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang ada di seluruh wilayah
Indonesia, demikian juga bagi para pemegang hak diwajibkan untuk mendaftarkan
hak atas tanah yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan tersebut telah dijabarkan secara terperinci baik dalam
berbagai peraturan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah ataupun
peraturan lainnya. UUPA sebagai peraturan yang memuat ketentuan pokok dibidang
keagrariaan, masih memerlukan peraturan pelaksanaannya. Selain itu peraturan
pelaksana dari UUPA ada yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan situasi
dan kondisis masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Hal ini mengakibatkan
timbulnya beberapa kemacetan dalam pelaksanaan di lapangan.
Kesadaran hukum anggota masyarakat untuk
mendaftarkan hak milik dan hak penguasaan atas tanah relatif sangat rendah, hal
ini disebabkan dari pengaruh Hukum Adat yang masih mendominasi kehidupan
masyarakat khususnya di pedesaan. Atas dasar itu penegakan hukum dalam bidang
pertanahan perlu mendapat perhatian khusus, karena tanah sebagai sumber utama
kehidupan manusia mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi.
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan
yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk
mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang
dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan
sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai
eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan
bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini
bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai
bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat
dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk:
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah
yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum
yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau
ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas
tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut,
hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling
kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam
ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Turun temurun artinya hak milik atas tanah
dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan
dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas
tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan
hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain,
dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain.
Pernyataan di atas mengandung pengertian
betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak
Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga
pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan
berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan
hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu
gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula
dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain
terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang
tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas
tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat
merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini
hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum
dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai
hak milik.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik,
telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere
potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau
memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia
punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare
potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan
pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.
Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan
kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas
dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya,
kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari
gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai
keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.
Adapun mengenai jaminan perlindungan dan
kepastian hukum bagi hak milik atas tanah terdapat penegasannya lebih lanjut
yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan ‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht
Kadaster.” Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas
hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.
- Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak
dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas
ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
- Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat
mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi
pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama
siapapun.
Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
- Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu
dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah
meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan
sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem
pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada
dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah
bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas
nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.
- Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai
kekuatan hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak
merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah
didaftarkan. Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam
prosesnya dan pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang
terdaftar bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang
terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal dari
orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan
haknya.
Kebijakan hukum tentang pembatasan
kepemilikan hak atas tanah yang diterapkan dalam pasal-pasal UUPA tersebut
dalam tatanan teoritis idealis tampak mencerminkan cita-cita dari pembentukan
UUPA itu sendiri yang pada pokoknya bertujuan untuk:
1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur;
2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyar keseluruhan
Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk
mewujudkan cita-cita pembentukan UUPA tersebut karena konflik kepentingan
antara berbagai pihak senantiasa menjadi duri dalam pencapaian tujuan
tersebut sehingga pelaksanaan kebijakan yang mengatur masalah hak-hak atas
tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perselisihan yang terjadi baik
secara horizontal maupun vertikal banyak mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya
mengenai hak milik ini sehingga pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak
milik.
Dalam praktek, pencabutan hak atas tanah
milik yang tidak dilandasi amanat Pasal 18 UUPA seringkali terjadi. Masyarakat
dituntut untuk melepaskan haknya dengan alih-alih untuk kepentingan umum dengan
diperkuat oleh asas fungsi sosial hak atas tanah yang termuat dalam pasal 6
UUPA, tetapi ganti kerugian yang diberikan tidak seimbang dengan nilai hak yang
dilepaskan sehingga banyak masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat bermukim
kembali secara layak karena ganti kerugian yang diterima tidak mampu untuk
menggantikan kedudukannya seperti sedia kala. Bagi penduduk yang masih memiliki
lahan luas, mungkin hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, namun bagi
sebagian besar penduduk yang hanya memiliki sebidang lahan sempit, kenyataan
pahit ini harus diterimanya dengan terpaksa. Ironisnya, kenyataan ini malah
akan semakin menyeret pada proses pemiskinan penduduk yang entah disadari atau
tidak oleh para pembuat kebijakan bahwa proses pemiskinan tersebut ternyata
malah lahir dari para pelaksana kebijakan itu sendiri.
Contoh kasus yang menunjukkan terjadinya
proses pemiskinan penduduk terjadi di desa Tegal Buleud kabupaten Sukabumi yang
mayoritas penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Dari semua
persoalan pertanian yang dihadapi petani di Tegalbuleud, persoalan utama yang
menjadi landasan terciptanya konflik dan pemiskinan besar-besaran penduduk desa
tersebut adalah sosok aparat pemerintah yang bersekutu dengan pemilik modal
dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan yang terjadi di
Indonesia selama berkuasanya rejim Orde Baru yang merupakan produk strategi
pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu rumusan strategi
pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada strategi pinjaman utang luar
negeri guna pengembangan infrastruktur modern yang kemudian harus dibayar oleh
pemerintah dari dana yang diperolehnya melalui eksploitasi sumber daya alam di
Indonesia. Tidak mengherankan bila pada tingkat lokal, implementasi strategi
tersebut membuahkan berbagai konflik di mana negara yang tengah berupaya keras
memenuhi kas pendapatannya harus berhadapan dengan para petani yang harus
kehilangan tanahnya melalui program-program pembangunan tersebut. Konflik
pertama yang muncul di desa tersebut berawal dengan adanya “program
pembangunan” pemerintah yang merencanakan dengan membangun kompleks perkebunan
kelapa hibrida yang akan menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan bagi
pemerintah pada awal tahun 1980-an. Tanah yang sekarang menjadi tanah PIR-BUN
seluas 2000 hektar merupakan tanah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat
masing-masing seluas 2 hektar. Rakyat menanami tanah tersebut dengan tanaman
cengkeh, buah-buahan dan lain sebagainya. Ketika proyek PIR memutuskan agar
tanah tersebut ditanami oleh kelapa hibrida, maka semua tanaman yang ditanam
rakyat ditebangi dengan paksa. Selain itu, kebanyakan petani yang sebelumnya
mengelola tanah tersebut, ternyata tidak mendapatkan kembali tanah mereka yang
didistribusikan kepada orang-orang lain.
Kasus-kasus ini muncul saat penguasaan tanah
di Indonesia dirasakan terpusat pada sekelompok orang. Banyak tanah rakyat yang
dijual ke tangan pembeli bermodal besar maupun investor akibat desakan ekonomi.
Lahan-lahan pertanian mengalami konversi, akibat para petani menjual tanah
kepada investor yang kemudian tidak mengolah tanah tersebut. Banyaknya tanah
terlantar di perkotaan maupun pedesaan sangat mencolok sekali di tengah
kebutuhan mendesak akan pemukiman bagi warga, maupun kebutuhan akan lahan
pertanian. Hal ini membuat masyarakat merasa termarginalkan di daerahnya
sendiri, dan kerapkali menimbulkan konflik maupun sengketa di atas tanah
tersebut. Ironisnya tanah-tanah yang dibiarkan terlantar itu tidak ditindak
lanjuti oleh pemerintah untuk diamankan padahal berdasarkan ketentuan Pasal 10
ayat (1) UUPA setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara
aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Jadi konsekuensi dari ketentuan
Pasal 10 ayat (1) ini adalah bahwa tanah pertanian itu tidak boleh dibiarkan
terlantar sehingga keberadaannya menjadi tidak bermanfaat dan rusak sedangkan
menurut ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang,
badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu,
dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah.
Masalah penelantaran tanah ini berkaitan
dengan masalah kepemilikan secara besar-besaran oleh perorangan yang tentunya
jika dibiarkan akan terjadi apa yang dinamakan dengan “monopoli tanah” oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penguasaan/kepemilikan tanah yang
melampaui batas ini tidak sesuai dengan amanat dari Pasal 7 UUPA yang
menyatakan bahwa “ Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”Namun dalam
kenyataannya hal ini sulit untuk dihindari.
Selain permasalahan di atas, yang tidak
kalah pentingnya adalah masalah jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas
tanah. Meskipun secara normative pemerintah telah mengeluarkan ketentuan
tentang pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 19 UUPA dan ditindak lanjuti
dengan Peraturan Pelaksana 27 Nomor tahun 1997, namun dalam kenyataannya
masalah ini tetap melahirkan banyak fenomena memprihatinkan di masyarakat
seperti keengganan masyarakat untuk melakukan sertifikasi karena berbagai
alasan yang pada umumnya berkisar pada alasan ekonomis, namun sebaliknya
terdapat pula kepemilikan sertifikat oleh banyak orang.
Lahir dua pemikiran terhadap segala
persoalan terkait dengan hak milik atas tanah sebagaimana diuraikan di atas
bahwa hal tersebut timbul tidak hanya akibat dari kekeliruan pemerintah dalam
penerapan kebijakan tetapi juga tidak lepas dari peran serta masyarakatnya yang
tampak berupaya untuk berontak/melepaskan diri dari kebijakan hukum
pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karena itu segala permasalahan tersebut
perlu dianalisis lebih cermat baik terhadap pihak pelaksana kebijakan yang
seringkali menyelewengkan amanat dari pembuat kebijakan maupun terhadap
masyarakat luas yang juga berperan serta memperuncing segala permasalahan yang
terjadi berkaitan dengan hak milik ini.
